Personal Branding Willson Cuaca Co-founder and Managing Partner East Ventures
“Jika Anda ingin menangkap unicorn, Anda harus berinvestasi kepada kami.”
— Willson Cuaca, Co-founder & Managing Partner East Ventures
Menangkap Unicorn dan Seni Bertaruh di Dunia Startup
Surabaya, StartFriday.Asia - Di dunia venture capital, tidak ada peta pasti. Semua berangkat dari ketidakpastian, insting, dan keberanian mengambil risiko. Willson Cuaca paham betul hal ini. Sebagai Co-founder & Managing Partner East Ventures (EV), ia berada di balik ratusan suntikan modal ke perusahaan rintisan Indonesia—bahkan ketika para pendirinya baru membawa ide, tanpa tim, tanpa produk, dan tanpa kepastian masa depan.
Bagi Willson Cuaca, investasi bukan sekadar hitung-hitungan valuasi. Ini adalah pertaruhan keyakinan. Ia sadar, setiap keputusan yang diambil bisa berujung pada dua hal: menang besar atau gagal total. Namun justru di ruang abu-abu itulah East Ventures dibangun dan tumbuh. Willson menyebut leap of faith sebagai fondasi utama perjalanan East Ventures. Perusahaan ini berdiri pada 2009 dengan dana awal hanya US$2,2 juta—angka yang terbilang kecil di dunia venture capital global. Dana tersebut sebagian besar berasal dari investor Jepang, ditambah komitmen uang pribadi dari para pendiri: Willson Cuaca, Taiga Matsuyama, dan Batara Eto.
Tak ada jaminan sukses di awal. Yang ada hanyalah keyakinan bahwa Asia Tenggara, khususnya Indonesia, akan menjadi panggung besar ekonomi digital. East Ventures memulai langkahnya bukan dengan kehati-hatian berlebihan, melainkan dengan keberanian untuk percaya pada potensi yang belum sepenuhnya terlihat.
Taruhan Awal di Indonesia: Investasi ke Tokopedia
Langkah besar pertama East Ventures di Indonesia terjadi pada 2010, ketika mereka memutuskan berinvestasi di Tokopedia. Saat itu, e-commerce masih jauh dari kata arus utama. Pengguna internet Indonesia baru sekitar 30 juta orang, dan kebiasaan belanja online hampir belum terbentuk. Namun Willson Cuaca membaca pola yang berbeda. Ia melihat bahwa di negara maju, marketplace selalu menjadi lokomotif ekonomi digital. Dengan inovasi dan waktu, ia yakin adopsi belanja daring di Indonesia akan tumbuh dan mempercepat perputaran ekonomi. “Siklus ekonomi digital selalu dimulai dari consumer,” ujarnya.
Keputusan mendanai Tokopedia jelas bukan keputusan berbasis data semata. Secara angka, risikonya sangat besar. Tapi Willson Cuaca melihat potensi jangka panjang: populasi besar, pertumbuhan internet, dan kebutuhan efisiensi pasar. Waktu membuktikan keyakinan itu. Tokopedia tumbuh pesat, menjadi salah satu pemain utama e-commerce Indonesia, hingga akhirnya bergabung dengan Gojek dan melantai di bursa sebagai GoTo. Taruhan yang dulu terlihat nekat, kini menjadi salah satu kisah investasi paling ikonik di Indonesia.
Baca Juga: Personal Branding Hendri Mulya Syam Direktur Utama Telkomsel
Membangun Portofolio, Bukan Sekadar Satu Pemenang
Setelah Tokopedia, East Ventures terus memperluas portofolionya. Nama-nama seperti Traveloka, Sociolla, hingga startup tahap awal seperti Kedai Sayur, KitaBeli, dan Ralali masuk dalam daftar investasi mereka. Pendekatan EV konsisten: masuk sejak tahap awal, mendampingi pertumbuhan, dan membangun ekosistem, bukan sekadar mengejar exit cepat. Filosofi ini membuat East Ventures dikenal sebagai investor yang dekat dengan founder, bukan hanya penyandang dana.
Pendekatan jangka panjang ini mendapat pengakuan global. Riset Preqin pada 2019 menempatkan East Ventures sebagai salah satu dari lima pengelola modal ventura dengan kinerja paling konsisten di dunia. Pengakuan ini memperkuat posisi EV di mata investor global. East Ventures bukan lagi pemain regional, melainkan aktor penting dalam peta venture capital internasional—dengan Indonesia sebagai pusat gravitasi utamanya.
Seiring tumbuhnya ekonomi digital dan performa portofolio, dana kelolaan East Ventures ikut melesat. Saat ini, asset under management (AUM) mereka telah mencapai US$1,5 miliar atau sekitar Rp22,5 triliun—tumbuh hampir 700 kali lipat dari dana awal. “Itu belum bicara soal value yang kita hasilkan dari situ,” kata Willson Cuaca. Pernyataan ini menegaskan bahwa angka hanyalah representasi dari dampak yang lebih besar: penciptaan bisnis, lapangan kerja, dan ekosistem digital yang berkelanjutan.
Delapan Putaran Pendanaan dan 30 Exit
Dalam 13 tahun terakhir, East Ventures telah melakukan delapan putaran pendanaan—enam seed funding dan dua growth funding. Dana tersebut disalurkan ke sekitar 300 startup, dengan 61 persen berada di Indonesia. Sisanya tersebar di Singapura, Malaysia, Vietnam, Thailand, dan pasar lainnya. Selama periode tersebut, East Ventures juga mencatatkan lebih dari 30 exit sukses. Sebuah rekam jejak yang memperkuat kepercayaan investor dan menempatkan EV sebagai salah satu VC paling diperhitungkan di kawasan.
Rekam jejak itulah yang membuka pintu ke investor kelas dunia. Saat bertemu Masayoshi Son, CEO SoftBank, Willson hanya membutuhkan 30 menit untuk meyakinkannya menggelontorkan US$60 juta. Alasannya sederhana: dua dari empat unicorn Asia Tenggara saat itu berada dalam portofolio East Ventures.
Willson menyampaikan kalimat yang kini menjadi legenda:
“Jika Anda ingin menangkap unicorn, Anda harus berinvestasi kepada kami.”
Masayoshi Son pun menjawab santai, “Mari memancing bersama. Kapal Anda kecil, kapal saya besar.”
Nilainya? Sekitar US$2 juta per menit.
Kisah Willson Cuaca dan East Ventures menunjukkan bahwa di balik unicorn, selalu ada keberanian untuk percaya lebih dulu. Bukan pada kepastian, tapi pada potensi. Bukan pada angka hari ini, tapi pada visi masa depan. Dan mungkin, Fripipel, itulah esensi sejati dari venture capital: bukan soal siapa yang paling cepat, tapi siapa yang berani melompat lebih dulu—dengan keyakinan penuh, meski tanpa jaminan akan mendarat dengan mulus.
Baca Juga: Personal Branding Susanto Djaja Presiden Direktur Metrodata Electronics

