Personal Branding Habib Ja’far, Dakwah Islam Cinta di Era Media Sosial

Dakwah Islam Cinta di Era Digital

Personal Branding Habib Jafar

“Dengan cinta pula, semakin ibadah, maka kita semakin cinta sesama.”
Habib Ja’far

Surabaya, StartFriday.Asia - Nama Habib Ja’far—atau Husein Ja’far Al-Hadar—mungkin tidak lahir dari mimbar konvensional, tetapi dari layar ponsel jutaan orang. Ia adalah contoh nyata bagaimana dakwah bertransformasi seiring perubahan zaman. Lewat media sosial, ia menawarkan pendekatan yang berbeda: ringan, relevan, dan penuh empati.

Di tengah dunia digital yang serba cepat, Habib Ja’far membaca satu hal penting: cara orang menerima gagasan telah berubah. Maka, dakwah pun tidak bisa lagi disampaikan dengan cara lama. Bukan untuk mengubah substansi, melainkan menyesuaikan medium.

Media Baru, Cara Baru Menyampaikan Gagasan

Habib Ja’far mengakui bahwa titik awal kehadirannya di kanal digital berangkat dari aktivitas menulis. Saat rehat menulis, ia mulai menyampaikan gagasan-gagasannya lewat video singkat yang kemudian disebar di berbagai platform digital. Orientasinya sederhana namun strategis: menjangkau sebanyak mungkin orang.

Itu saya rasakan pengaruhnya jauh lebih besar dari tulisan,” ujarnya. Dengan lebih dari 1,5 juta pengikut di Instagram, pengaruh dakwah digitalnya meluas lintas usia, latar belakang, bahkan keyakinan. Jika dahulu publik mengenal istilah “Dai Sejuta Umat” pada sosok Zainuddin MZ, maka di era media sosial, angka keterjangkauan Habib Ja’far—secara kasatmata—telah melampaui generasi sebelumnya.

Islam Cinta sebagai Pesan Utama

Dalam setiap kontennya, Habib Ja’far konsisten mengusung satu narasi besar: Islam Cinta. Sebuah pendekatan yang mengingatkan pada Tasawuf Mazhab Cinta yang diperkenalkan Haidar Bagir. Islam yang menenangkan, merangkul, dan memanusiakan.

Menurutnya, generasi muda hari ini berada di dua kutub ekstrem. “Kalau bukan generasi yang tidak peduli akan agama, ya, generasi hijrah,” katanya. Di celah itulah Islam Cinta hadir—sebagai jembatan, bukan palu godam. Dakwah bukan untuk menghakimi, tapi mengajak berpikir dan merasakan.

Baca Juga: Personal Branding Haryanto Tjiptodihardjo, Presiden Direktur PT Impack Pratama Industri Tbk

Dekat Tanpa Menggurui

Personal Branding Habib Jafar

Fripipel mungkin sadar, salah satu kekuatan Habib Ja’far ada pada sikapnya yang tidak berjarak. Ia memilih tampil santai, tanpa atribut berlebihan. Bukan karena menolak tradisi, tapi karena sadar siapa audiens yang ia sapa: anak-anak muda yang alergi terhadap pendekatan kaku.

Habib Ja’far bahkan merasa tidak pantas mengenakan jubah. Baginya, ia hanyalah penyambung lidah ulama dan cendekiawan muslim untuk generasi digital. Bahasa yang digunakan pun bahasa populer, diselingi humor, kadang bercanda dengan stand-up comedian, bahkan berbincang bersama musisi. Dakwah tidak kehilangan makna, justru menemukan bentuk baru.

Dakwah sebagai Dialog Budaya

Pendekatan Habib Ja’far menunjukkan bahwa dakwah hari ini bukan lagi monolog, melainkan dialog budaya. Media sosial bukan hanya alat penyebaran, tapi ruang perjumpaan. Di sanalah nilai-nilai agama bertemu realitas sehari-hari, keresahan anak muda, dan dinamika zaman.

Buat Fripipel, kisah Habib Ja’far adalah contoh bagaimana nilai lama bisa hidup dalam medium baru. Substansi tetap, cara bicara berubah. Dan di tengah kebisingan digital, suara yang lembut dan penuh cinta justru terdengar paling jelas.

Habib Ja’far membuktikan bahwa dakwah tidak harus keras untuk berdampak. Dengan cinta, dengan empati, dan dengan keberanian menyesuaikan diri, pesan agama justru menemukan audiens yang lebih luas. Dan mungkin, seperti kata beliau sendiri, semakin kita beribadah dengan cinta, semakin kita belajar mencintai sesama.

Baca Juga: Personal Branding Patrick Sugito Walujo, CEO PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO)

Previous
Previous

Masih Nyebut iWatch? Ini Alasan Apple Watch Jadi Pilihan Banyak Orang

Next
Next

Bukan Sekadar Kopi, Bagaimana Torabika Mengisi Energi Harian Indonesia?